Semakin menjamurnya aktivitas bimbingan belajar
(bimbel), mulai dari SD hingga sekolah menengah, ditanggapi secara berbeda oleh
beberapa kalangan. Berdas arkan hasil wawancara kepada teman-teman
seangkatan serta adik-adik angkatan yang pernah mengenyam bangku bimbel dan
yang notabene pernah menjadi “korban ketegangan” Ujian Nasional (UN), mereka
menyatakan alasannya mengikuti bimbel, yaitu bimbel diperlukan supaya mereka
bisa belajar jauh lebih dalam lagi terkait materi pembelajaran, terutama mata
pelajaran-mata pelajaran yang di-UN-kan dalam rangka kelulusan sekolah maupun
yang di-SBMPTN-kan dalam rangka seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan
tinggi negeri.
Berdasarkan jawaban
tersebut, penulis berusaha bertanya lebih mendalam lagi kepada mereka: apakah
guru kurang mampu menjelaskan materi pembelajaran secara lebih mendalam kepada
mereka? Jawaban mereka secara umum, yaitu sebenarnya guru-guru mereka telah
mengajarkan materi pembelajaran secara lengkap, tetapi kurang mendalam dalam
mempelajarinya. Hal itu merupakan dampak dari keterbatasan waktu (ditambah pula
dengan adanya dukungan finansial orang tua serta ajakan dari rekan sesama),
sehingga pada akhirnya mereka akhirnya mengikuti bimbel.
Terkait keterbatasan waktu
dalam pembelajaran, muncul pertanyaan: mengapa keterbatasan waktu bisa muncul
dalam pembelajaran? Jawabannya adalah karena di sekolah formal memang ada batas
waktu pembelajaran untuk setiap mata pelajaran.
Kemudian, apakah
gara-gara waktu yang terbatas, pembelajaran menjadi sulit atau tidak bisa untuk
dioptimalkan oleh guru kepada peserta didiknya? Hal itu sangat tergantung dari
ketercapaian kurikulum yang harus diajarkan kepada peserta didik. Apabila
peserta didik telah belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum yang ada serta
waktu yang tersedia, maka pembelajaran yang telah dilaksanakan oleh guru beserta
peserta didiknya di kelas sudah dapat dikatakan optimal, meskipun (mungkin)
peserta didik kurang belajar secara mendalam, alias peserta didik hanya
mempelajari materi-materi pembelajaran secara mendasar.
Yang menjadi persoalan
adalah seringkali dalam latihan soal-soal yang dibuat untuk keperluan berbagai
macam tes, seperti UN, SBMPTN, dll, jumlah soalnya tidak sebanding dengan lamanya
waktu yang tersedia untuk belajar dan/atau tingkat kesukaran soalnya melebihi
batas tuntutan kurikulum, sehingga pembelajaran di sekolah seringkali dinilai
seolah-olah kurang mengoptimalkan waktu yang tersedia untuk keperluan
pembelajaran bagi peserta didik.
Buktinya adalah dalam
berita yang disampaikan oleh Pikiran Rakyat
(29 Agustus 2015), ada yang berpendapat bahwa menjamurnya aktivitas bimbel
disebabkan karena “guru tidak memberikan pengajaran secara serius dan optimal,
terkesan menyembunyikan ilmu yang seharusnya diberikan dan diterima oleh
siswa.” Apakah benar (secara umum) para guru mengajar tidak dengan serius,
kurang mengoptimalkan waktu yang terbatas untuk pengoptimalan pembelajaran di
kelas, serta bertindak pelit ilmu sepelit itu?
Membuat peserta didik
mengerti/memahami materi pembelajaran yang dipelajari olehnya adalah dambaan
dari setiap guru. Guru manapun pasti akan merasa senang apabila ketika peserta
didiknya ditanya, “Apakah kalian paham (terkait materi pembelajaran)?”, peserta
didiknya menjawab, “Ya, saya paham, Pak/Bu.” Oleh karena itu, tidaklah tepat
apabila guru dituding sebagai “tersangka” penyebab menjamurnya aktivitas bimbel
di luar sekolah.***