Mengingat saat duduk di bangku sekolah (SD, SMP dan
SMA), ujian merupakan hal wajib yang harus diikuti bagi siswa-siswi untuk
mendapatkan nilai. Tentunya dengan harapan nilai yang mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal), bagi sebagian siswa mencontek merupakan jalan tercepat dan termudah
untuk mendapatkan nilai yang baik (mencapai KKM). Lalu, siapa yang tidak suka
dengan cara seperti itu?
Tidak adanya aturan yang baku dan jelas
di sekolah menyebabkan mencontek menjadi hal yang lumrah bagi kalangan
siswa-siswi zaman sekarang, walupun telah disadari mencontek merupakan hal yang
dilarang. Beberapa siswa mengungkapkan mengenai apa alasannya mencontek:
“walaupun di rumah sudah belajar, tapi nilainya belum tentu bagus, kalo
nyontek-kan lumayan, nilainya pasti bagus” dan ada juga yang mengungkapkan:
“biar nilainya bagus dan tidak dimarahi orang tua”. Dengan handphone pintar yang mereka miliki, mencontek jadi semakin mudah
dan cepat di akses.
Dalam buku ‘Evaluasi Pembelajaran’
(Zainal Arifin : 2013) dikatakan, pada dasarnya ujian di gunakan untuk
mengevaluasi hasil dari pembelajaran yang telah dilaksanakan, baik untuk guru
dalam mengevaluasi pembelajaran atau cara mengajarnya dan juga untuk mengukur kemampuan
kognitif mereka (siswa-siswi). Namun lain cerita jika hasil tes yang digunakan
untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran merupakan hasil dari mencontek, tidak
akan ada evaluasi atau perbaikan kedepannya.
Disini telah terjadi pergeseran fungsi
atau makna “ujian” yang dilaksanakan di sekolah-sekolah. Ada anggapan dalam
masyarakat jika orang pintar dialah yang mendapatkan nilai besar. Padahal
pembelajaran disekolah merupakan proses yang tidak hanya untuk mendapatkan
nilai yang besar, namun proses bagaimana siswa menjadi cerdas dan memiliki
karakter.
Dari anggapan tersebut menciptakan hubungan
yang terikat antara sekolah dan masyarakat. Sekolah akan di cap ‘buruk’ apabila
nilai dari peserta didiknya jelek atau di bawah KKM, sehingga tidak disadari
mencontek akan menjadi hal yang ‘dilarang, tapi diperbolehkan’.
Perlunya Figur
Layaknya seorang wasit dalam
pertandingan sepak bola, jika melanggar ada kartu kuning (peringatan), kartu
merah (keluar dari permainan), free kick,
penalty, corner kick, bahkan denda uang bagi pemain dan tim. Begitu juga
dalam dunia pendidikan, perlu adanya figur yang berperan seperti wasit dalam
pertandingan sepak bola, yaitu menjadi penjaga aturan di sekolah (dalam hal ini
ialah guru). Namun yang sering terjadi ialah wasit di sekolah tidak berfungsi
dengan baik, yang kemudian menyebabkan tidak adanya pendidikan karakter yang
ditanamkan kepada peserta didik, salah satunya dalam hal mencontek tadi.
Perlu kita ketahui bersama, pendidikan
karakter bukan semata-mata memberikan pengetahuan, tetapi menetapkan aturan dan
konsekuensi di lingkungan sekolah. Ada aturan yang jelas dan konsisten,
misalnya: jika mencontek akan mendapatkan peringatan hingga hukuman ujian
susulan. Karena pada esensinya, pendidikan merupakan proses memanusiakan
manusia yang memiliki karakter tangguh, disiplin dan jujur.***